Makalah
KEBIJAKAN DAN
KELEMBAGAAN KONSERVASI
“Implementasi
dan Evaluasi Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnya”
OLEH :
A S R
I A D I. AR
D1B5
10 128
JURUSAN
KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2013
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Lingkungan hidup makin banyak menarik perhatian masyarakat
luas. Baik kalangan pemerintah, universitas, media massa maupun masyarakat umum
membicarakannya. Permasalahan lingkungan mendapat perhatian yang sangat besar
di hampir semua negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ini terutama terjadi
dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konperensi PBB tentang lingkungan
hidup di Stockholm dalam tahun 1972. Dalam konperensi Stockholm telah disetujui
banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak
lanjut. Salah satu diantaranya ialah didirikannya badan khusus dalam PBB yang
ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations
Environmental Programme, disingkat UNEP. Badan ini bermarkas di Nairobi,
Kenya.
Perhatian tentang lingkungan hidup di Indonesia, telah mulai
muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Pada umumnya berita itu berasal dari
dunia barat yang dikutip oleh media massa kita, oleh karena berita itu berasal
dari dunia barat, masalah lingkungan yang diliput oleh media massa adalah
terutama yang mengenai pencemaran. Tonggak sejarah tentang permasalahan
lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di
Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar tentang
lingkungan hidup yang pertama kalinya diadakan di Indonesia.
Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan
dunia tidak terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang
tidak terkontrol dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan
lingkungan hidup tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar
melakukan pemanfaatan sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan
pembangunan.. Di dalam mengelola atau memanfaatkan lingkungan hidup, “tidak
jarang manusia tertarik dan terpesona oleh tujuan yang dikejarnya saja sehingga
tidak menyadari akibat-akibat sampingannya” berupa resiko yang bersifat
langsung muncul maupun “laten” bagi kelanjutan kehidupan manusia beserta
generasi di masa mendatang.
Pembangunan dengan lingkungan hidup memang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya, baik dari segi manfaat maupun segi
pengaruh negatif dari hasil sampingan yang diberikan secara bersamaan.
Mengingat akan keterkaitannya tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah
Indonesia sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia untuk dapat memperkecil dampak negatifnya agar tercipta lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Salah satu wujud usahanya adalah berupa penetapan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, yakni Undang-undang
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(selanjutnya disebut UU Konservasi) namun kebijakan inipun belum berfungsi
secara maksimal untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Oleh karena itu
penyusunan makalah ini dianggap penting untuk dilaksanakan untuk mengetahui
lebih jauh mengenai Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Besrta Ekosistemnya.
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan
yang diangkat dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa
alasan yang melatar belakangi terbitnya Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnnya?
2. Bagaimana
implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati Beserta Ekosistemnnya, apakah telah berjalan sesuai yang diharapkan atau
sebaliknya, mengapa demikian?
3. Bagaiman
bentuk evaluasi yang dilakukan untuk mengevaluasi implementasi Undang-Undang No
5 tahun 1990?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui alasan yang melatar belakangi terbitnya Undang-Undang No 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnnya.
2. Untuk
mengetahui implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnnya.
3. Untuk
mengetahui bentuk evaluasi yang dilakukan untuk mengevaluasi implementasi
Undang-Undang No 5 tahun 1990.
II. PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Lahirnya Undang –
Undang No.5 Tahun 1990
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan
berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di
udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal
dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan
dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin
keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan
penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan
ekosistemnya, sehingga pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan
Pancasila.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian
terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati
ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama
mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang
kehadirannya tidak dapat diganti.
Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai
kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari
tiap generasi untuk melindunginya. Untuk mengatur hal tersebut maka
diterbitkanlah kebijakan yaitu Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang – undang ini berlaku sejak tanggal 10 Agustus 1990
yang merupakan tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia. Adapun alasan
diterbitkannya UU No. 5 tahun 1990 adalah.
1. Sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa mempunyai kedudukan penting
bagi kehidupan manusia yang perlu dipertahankan kelestariannya.
2. Unsur Sumber Daya Alam saling
ketergantungan satu sama lainnya sehingga hilangnya salah satu unsure akan
mengakibatkan terganggunya ekosistem.
3. Diperlukan
adanya langkah-langkah konservasi.
4. Peraturan
perundang-undangan yang lama dipandang sudah tidak memadai dan masih merupakan
produk kolonial.
Strategi konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu:
1. Perlindungan system penyangga
kehidupan
2. Pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pengawetan ini dilakukan melalui upaya
keanekaragaman jenis tersebut agar tidak punah. Tujuannya adalah agar
masing-masing unsure dapat berfungsi secara alami untuk sewaktu-waktu
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Upaya ini dapat dilakukan didalam
kawasan (in-situ) melalui penetapan kawasan konservasi dan diluar kawasan hutan
(ex-situ) di lokasi kebun binatang, taman satwa, kebun raya dan lain-lain.
Pengawetan dan keaneakaragaman jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan dengan
menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.
3. Kawasan suaka alam.
Kawasan
suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat maupun
diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang berfungsi sebagai wilayah
system penyangga kehidupan. Kawasan ini terdiri dari cagar alam dan suaka alam
margasatwa, kedua kawasan tersebut berfungsi: a) Pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b) Wilayah sistem
penyangga kehidupan (pasal 15) Menurut pasal 17 ayat (1) di dalam kawasan cagar
alam dapat dilakukan kegiatan: a) Penelitian dasar yang meliputi: a.1) Penelitian terhadap tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya; a.2)Penelitian dalam rangka menunjang
pengelolaan; a.3) Penelitian dalam rangka menunjukan budidaya, termasuk
pengambilan specimen tumbuhan dan satwa untuk pengembangan biakan di luar
kawasan. b) Kegiatan yang bersifat non komersil seperti: b.1) Pemetaan geologi; b.2) Penyelidikan
umum mineral. Menurut pasal 17 ayat (2) di dalam kawasan Suaka Margasatwa dapat
dilakukan kegiatan untuk: Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, wisata terbatas dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya,
selain itu dapat dilakukan wisata terbatas seperti mendaki gunung, photo
hunting, menjelajah hutan, berkemah, rafting dan rekreasi alam lainnya.
4. Pengawetan jenis tumbuhan satwa.
Menurut
Pasal 20 tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis: a) Tumbuhan dan
satwa yang tidak dilindungi; b) Tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Jenis tumbuhan dan satwa
yang dilindungi digolongkan dalam: a) Tumbuhan dan satwa dalam bahaya
kepunahan; b) Tumbuhan
dan satwa yang populasinya jarang.
Selain itu tercantum juga tentang larangan (Pasal 21) dan pengecualian
dari larangan (Pasal 22)
5. Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan
ini mempunyai fungsi untuk perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 30).
6. Pemanfaatan jenis tumbuhan satwa
liar
Pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk pegkajian,
penelitian, dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan,
pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan.
7. Pengawetan jenis tumbuhan satwa.
Peran
serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan
dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan
berhasil guna (Pasal 37). Pada ayat 1 pasal ini disebutkan bahwa pemerintah
menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
B. Implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990
Secara umum implementasi terhadap Undang-Undang
No 5 tahun 1990 belum sepenuhnya dapat berjalan sesuai harapan dan aturan yang
telah ditentukan. Hal tersebut terjadi akibat adanya kendala dalam implementasi
yaitu:
1. Berdasarkan pemantauan di lapangan,
pemilikan satwa yang dilindungi oleh perorangan cenderung meningkat, karena
bermakna prestige, ditambah lagi nilai jasa yang diberikan satwa liar kepada
para pemeliharanya sangat bervariasi seperti kemerduan, keindahan, keunikan dan
jasa wisata.
2. Terdapat Satwa liar dilindungi yang
dijadikan salah satu komoditas komersil, karena didorong oleh banyaknya peminat
untuk memiliki satwa liar dilindungi. Kondisi ini mendorong adanya kelompok
pemburu ilegal yang berburu satwa di habitatnya.
3. Terdapat pemahaman yang berbeda
dimana belum semua orang menyadari bahwa untuk memperoleh satwa liar dilindungi
diperlukan prosedur sebagaimana telah diatur berdasarkan SK. Menhut No.
301/Kpts-II/1991 jo. SK. Menhut No. 479/Kpts-VI/1992. Ketentuan ini mengatur
penitipan pemeliharaan satwa liar dilindungi tetapi bukan penyerahan pemilikan.
4. Kegiatan penertiban satwa liar
dilindungi memerlukan dana serta sarana prasarana yang besar, namun faktor ini
belum tersedia mengingat keterbatasan anggaran pada pemerintah.
Hal-hal sebagaimana terurai di atas tetap berlangsung
walaupun usia dari UU No. 5 Tahun 1990 sudah cukup lama dan tersosialisasi di
kalangan masyarakat luas. Ironisnya, ketidaktahuan masih menjadi tameng bagi
para pelanggar UU No. 5 Tahun 1990. Padahal atas nama fiksi hukum dalam konteks
hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya Hukum
perlindungan dan pelestarian satwa liar.
Maraknya pelanggaran hukum tersebut terjadi karena akumulasi
dari kondisi di negara kita yaitu :
1. Rendahnya pemahaman masyarakat
terhadap produk hukum yang mengatur perlindungan terhadap satwa dan terhadap
fungsi satwa dalam ekosistem.
2. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam
mentaati hukum yang berlaku.
3. Lemahnya penegakan hukum.
4. Rendahnya tingkat pendapatan
masyarakat dan tingginya pengangguran.
C. Evaluasi Undang-Undang No 5 tahun
1990
Dalam mengevaluasi kebijakan konservasi yang terkandung dalam
Udang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan implementasinya, ada 5 kriteria yang akan
diperhatikan (Barry C. Field) sebagai bahan penilaian yaitu (1) efficiency dan
cost-effectiveness; (2) fairness ; (3) Incentives; (4) enforceability dan (5)
moral.
1. Efficiency dan
cost-effectiveness
Kriteria ini dimaksudkan dengan tingkat efisiensi dan
efektivitas dalam penyelenggaraan konservasi jenis. Efiisiensi menyangkut
tingkat marginal kerusakan yang dapat diperbaiki dengan berapa biaya yang
dibutuhkan untuk melakukan upaya konservasi. Sedangkan kriteria
cost-effectiveness adalah tingkat perbandingan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan dengan besarnya manfaat upaya konservasi jenis.
Dalam upaya pengawetan pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, maupun pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa dalam UU No.5/tahun 1999 tersebut belum mempertimbangkan kedua kriteria
ini, malah adanya kemungkinan terjadinya in-efficiency dan tidak efektifnya
biaya konservasi. Tujuan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, dalam UU tersebut, adalah agar tidak punah, untuk sewaktu-waktu
dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Kaitan dengan implementasi akan sulit
terjadi efisiensi, mengingat kemungkinan cost-marginal sulit mencapai tingkat
marginal penurunan kepunahan jenis yang dikehendaki. Karena tidak didorong
adanya peluang usaha yang menarik dalam konservasi jenis.
Dari indicator cost-effectiveness, juga kemungkinan tidak
akan tercapai mengingat biaya yang dikeluarkan diduga akan jauh lebih besar
dibanding dengan capaian dari upaya konservasi. Hal ini mengingat instansi yang
menangani adalah Pemerintah Pusat, yang kemungkinan terjadi tidak efektifnya
pembiayaan konservasi.
2. Fairness
Suatu kebijakan konservasi yang baik, apabila didalamnya
memuat keadilan secara jelas atau mendorong terjadanya keadilan dalam kegiatan
konservasi. Dari pasal demi pasal pada UU No.5/1999 tersebut kurang
mengakomodasi kriteria keadilan ini, terutama akan sharing manfaat konservasi
terutama bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah maupun stakeholder yang
lain, sehingga timbul ketidakadialan pemanfaatan sumberdaya hayati yang terjadi
secara mengglobal. Kekayaan sumberdaya hayati ternyata lebih merupakan surga
bagi pencari “emas hijau” (istilah sumberdaya hayati yang potensial untuk
dikomersialisasikan, misalnya tumbuhan obat), yang berasal dari
perusahaan-perusahaan internasional negara maju. (Latin, 1999). Ketidak-adilan
ini adalah hal yang utama terjadinya deplesi hutan yang besar.
3. Incentives
Dalam teori ekonomi dikenal dengan adanya incentive, baik
itu bersifat positif maupun bersifat negatif mempengaruhi manusia dalam
menjalankan peranannya baik itu sebagai pelaku kegiatan ekonomi maupun sebagai
pengelola impact dan incident dari perbuatannya. Konsep incentives mencakup
juga kegiatan non material reward disamping ekonomi cost dan benefit. Keputusan
manusia sebagai homo economicus untuk tidak melakukan tindakan atau tidak
melakukan kegiatan ekonomi ditentukan oleh system incentives yang dihadapinya,
baik secara material maupun non material, keputusan manusia akan berubah jika
incentives yang diterima mengalami perubahan. Jadi dari dasar itulah maka
kebijakan ekonomi/pembangunan/pemerintah perlu mengandung unsure incentives
yang secara rasional dengan system tersebut dapat mengarahkan perilaku manusia
ketujuan yang diinginkan.
Kebijakan yang baik seharusnya dibangun dengan menggunakan
dan memperhatikan system incentives. Dari analisis di atas, tidak menunjukkan
adanya pasal dalam UU No.5/1999 yang secara eksplisit membangun system
incentives ini sehingga menimbulkan dampak: a) Inefisiensi pengggunaan
sumberdaya alam, terutama dalam pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman
species; b) Inkonsistensi antara berbagai kebijakan, inkonsistensi antar tujuan
kebijakan yang tidak mengarah kepada sasaran yang sebenarnya; c) Tidak
terakomodasinya kepentingan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam
paradigma pembangunan; serta d) kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya yang
berlangsung. Pemerintah memandang sumberdaya alam sebagai sebagai sumberdaya
yang berharga untuk dilikuidasi dalam rangka perolehan devisa, percepatan,
percepatan pertumbuhan ekonomi serta diversivikasi basis perekonomian
(Deuvergne dalam Suderlin dan Resosudarmo, 1997). Inilah yang menyebabkan erosi
keanekaragaman hayati meningkat seeiring dengan melajunya pertumbuhan.
4. Enforceability
Kebijakan konservasi jenis tidak akan berjalan apabila tidak
ada penegakan pelaksanaannya. Pada Undang-Undang No. 5/1990 pada pasal 40 ayat
(2) dan ayat (3) ancaman pidana bagi yang melanggar paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Dengan belum
adanya kasus yang dikenakan dengan ancaman tersebut, membuktikan bahwa
kebijakan yang ada tidak enforceability. Demikian juga ancaman tersebut tidak
membuat jera atau takut melanggar ketentuan kebijakan tersebut. Hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya kegiatan illegal logging di kawasan konservasi.
Kondisi ini juga lebih didorong tidak jelasnya kepastian hukum.
5. Moralitas
Kebijakan yang dibangun harus
benar-benar membawa pesan moral yang nantinya akan berdampak kepada perubahan
perilaku manusia. Dari analisis terhadap UU, PP, dan keputusan-keputusan lain
tidak terlihat ada pasal yang menerangkan mengenai pesan moral yang terkandung
didalamnya sehingga dengan tidak terkandungnya hal tersbut sulit sekali untuk
mencapai tujuan dan sasaran terutama dalam kegiatan-kegiatan konservasi
sumbedaya alam hayati. Dalam undang-undang tersebut juga tidak memberikan
peluang untuk munculnya sanksi social bagi pelaku, malah sebaliknya orang
bangga dan dapat meningkatkan status social-nya jika memelihara hewan yang
dilindungi.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa mempunyai kedudukan penting
bagi kehidupan manusia yang perlu dipertahankan keseimbangan dan kelestariannya,
diperlukan adanya
langkah-langkah konservasi, dan peraturan perundang-undangan yang lama
dipandang sudah tidak memadai dan masih merupakan produk kolonial.
2. Secara umum implementasi terhadap Undang-Undang
No 5 tahun 1990 belum sepenuhnya dapat berjalan sesuai harapan dan aturan yang
telah ditentukan.
3. Dalam mengevaluasi kebijakan
konservasi yang terkandung dalam Udang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan
implementasinya, ada 5 kriteria yang akan diperhatikan (Barry C. Field) sebagai
bahan penilaian yaitu (1) efficiency dan cost-effectiveness; (2) fairness ; (3)
Incentives; (4) enforceability dan (5) moral.
B. Saran
Konservasi hutan bertujuan untuk memastikan
fungsi utama perlindungan kawasan hutan terjamin. Dalam penerapan hukum
konservasi hutan, kondisi utama yang dikehendaki bersama adalah berlangsungnya
keutuhan dan fungsi hutan sebagai penunjang ekologi dalam pembangunan nasional.
Karena itu, hutan beserta fungsi dan peranannya harus dikelola secara rasional,
terencana dan terpadu antara lain melalui sistem kebijaksanaan pengelolaan
hutan secara lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Dephut,1990. Undang-undang No. 5 tahun 1999, Tentang Konservasi Sumber daya hayati
dan Ekosistemnya. Jakarta. Indonesia.
Dephut, 1999. Undang-undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Indonesia.
Dephutbun, 2000. Peraturan Perundang-undangan Bidang
Konservasi sumberdaya Alam. Ditjen PJKA Jakarta. Indonesia.
Muhtaman, R Dwi
dkk, 1999. Perbaikan Sumberdaya Hayati,
Latin.
Sembiring N Suhaedi, Dkk, 1990. Tentang kajian Hukum dan Kebijakan
Pengelolan Kawasan Konservasi di Indonesia menuju Pengembangan Desentralisasi
dan Pengkajian Peran serta Masyarakat . ICEL. Jakarta.
Sastrpraja, Dkk, 1990. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan
Hidup Bangsa. Jakrta Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar