Rabu, 16 Maret 2016

Implementasi dan Evaluasi Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnya



Makalah
KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN KONSERVASI
Implementasi dan Evaluasi Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnya”




OLEH :
A S R I A D I.  AR
D1B5 10 128



JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup makin banyak menarik perhatian masyarakat luas. Baik kalangan pemerintah, universitas, media massa maupun masyarakat umum membicarakannya. Permasalahan lingkungan mendapat perhatian yang sangat besar di hampir semua negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konperensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm dalam tahun 1972. Dalam konperensi Stockholm telah disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut. Salah satu diantaranya ialah didirikannya badan khusus dalam PBB yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Environmental Programme, disingkat UNEP. Badan ini bermarkas di Nairobi, Kenya.
Perhatian tentang lingkungan hidup di Indonesia, telah mulai muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Pada umumnya berita itu berasal dari dunia barat yang dikutip oleh media massa kita, oleh karena berita itu berasal dari dunia barat, masalah lingkungan yang diliput oleh media massa adalah terutama yang mengenai pencemaran.  Tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar tentang lingkungan hidup yang pertama kalinya diadakan di Indonesia.
Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan.. Di dalam mengelola atau memanfaatkan lingkungan hidup, “tidak jarang manusia tertarik dan terpesona oleh tujuan yang dikejarnya saja sehingga tidak menyadari akibat-akibat sampingannya” berupa resiko yang bersifat langsung muncul maupun “laten” bagi kelanjutan kehidupan manusia beserta generasi di masa mendatang.
Pembangunan dengan lingkungan hidup memang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, baik dari segi manfaat maupun segi pengaruh negatif dari hasil sampingan yang diberikan secara bersamaan. Mengingat akan keterkaitannya tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia untuk dapat memperkecil dampak negatifnya agar tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Salah satu wujud usahanya adalah berupa penetapan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, yakni Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU Konservasi) namun kebijakan inipun belum berfungsi secara maksimal untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Oleh karena itu penyusunan makalah ini dianggap penting untuk dilaksanakan untuk mengetahui lebih jauh mengenai Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Besrta Ekosistemnya.

B. Rumusan Masalah
            Permasalahan yang diangkat dalam penyusunan makalah ini adalah:
1.      Apa alasan yang melatar belakangi terbitnya Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnnya?
2.      Bagaimana implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnnya, apakah telah berjalan sesuai yang diharapkan atau sebaliknya, mengapa demikian?
3.      Bagaiman bentuk evaluasi yang dilakukan untuk mengevaluasi implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990?

C. Tujuan
            Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui alasan yang melatar belakangi terbitnya Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnnya.
2.      Untuk mengetahui implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Beserta Ekosistemnnya.
3.      Untuk mengetahui bentuk evaluasi yang dilakukan untuk mengevaluasi implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990.

II. PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Lahirnya Undang – Undang No.5 Tahun 1990
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya, sehingga pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.
Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi untuk melindunginya. Untuk mengatur hal tersebut maka diterbitkanlah kebijakan yaitu Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang – undang ini berlaku sejak tanggal 10 Agustus 1990 yang merupakan tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia. Adapun alasan diterbitkannya UU No. 5 tahun 1990 adalah.
1.      Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa mempunyai kedudukan penting bagi kehidupan manusia yang perlu dipertahankan kelestariannya.
2.      Unsur Sumber Daya Alam saling ketergantungan satu sama lainnya sehingga hilangnya salah satu unsure akan mengakibatkan terganggunya ekosistem.
3.      Diperlukan adanya langkah-langkah konservasi.
4.      Peraturan perundang-undangan yang lama dipandang sudah tidak memadai dan masih merupakan produk kolonial.
Strategi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu:
1.      Perlindungan system penyangga kehidupan
2.      Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pengawetan ini dilakukan melalui upaya keanekaragaman jenis tersebut agar tidak punah. Tujuannya adalah agar masing-masing unsure dapat berfungsi secara alami untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Upaya ini dapat dilakukan didalam kawasan (in-situ) melalui penetapan kawasan konservasi dan diluar kawasan hutan (ex-situ) di lokasi kebun binatang, taman satwa, kebun raya dan lain-lain. Pengawetan dan keaneakaragaman jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.
3.      Kawasan suaka alam.
Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang berfungsi sebagai wilayah system penyangga kehidupan. Kawasan ini terdiri dari cagar alam dan suaka alam margasatwa, kedua kawasan tersebut berfungsi: a) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b) Wilayah sistem penyangga kehidupan (pasal 15) Menurut pasal 17 ayat (1) di dalam kawasan cagar alam dapat dilakukan kegiatan: a) Penelitian dasar yang meliputi: a.1) Penelitian terhadap tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya; a.2)Penelitian dalam rangka menunjang pengelolaan; a.3) Penelitian dalam rangka menunjukan budidaya, termasuk pengambilan specimen tumbuhan dan satwa untuk pengembangan biakan di luar kawasan. b) Kegiatan yang bersifat non komersil seperti: b.1) Pemetaan geologi; b.2) Penyelidikan umum mineral. Menurut pasal 17 ayat (2) di dalam kawasan Suaka Margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk: Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya, selain itu dapat dilakukan wisata terbatas seperti mendaki gunung, photo hunting, menjelajah hutan, berkemah, rafting dan rekreasi alam lainnya.
4.      Pengawetan jenis tumbuhan satwa.
Menurut Pasal 20 tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis: a) Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi; b) Tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi digolongkan dalam: a) Tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan; b) Tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
Selain itu tercantum juga tentang larangan (Pasal 21) dan pengecualian dari larangan (Pasal 22)
5.      Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan ini mempunyai fungsi untuk perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 30).
6.      Pemanfaatan jenis tumbuhan satwa liar
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk pegkajian, penelitian, dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan.
7.      Pengawetan jenis tumbuhan satwa.
Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37). Pada ayat 1 pasal ini disebutkan bahwa pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

B. Implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1990
Secara umum implementasi terhadap Undang-Undang No 5 tahun 1990 belum sepenuhnya dapat berjalan sesuai harapan dan aturan yang telah ditentukan. Hal tersebut terjadi akibat adanya kendala dalam implementasi yaitu:
1.      Berdasarkan pemantauan di lapangan, pemilikan satwa yang dilindungi oleh perorangan cenderung meningkat, karena bermakna prestige, ditambah lagi nilai jasa yang diberikan satwa liar kepada para pemeliharanya sangat bervariasi seperti kemerduan, keindahan, keunikan dan jasa wisata.
2.      Terdapat Satwa liar dilindungi yang dijadikan salah satu komoditas komersil, karena didorong oleh banyaknya peminat untuk memiliki satwa liar dilindungi. Kondisi ini mendorong adanya kelompok pemburu ilegal yang berburu satwa di habitatnya.
3.      Terdapat pemahaman yang berbeda dimana belum semua orang menyadari bahwa untuk memperoleh satwa liar dilindungi diperlukan prosedur sebagaimana telah diatur berdasarkan SK. Menhut No. 301/Kpts-II/1991 jo. SK. Menhut No. 479/Kpts-VI/1992. Ketentuan ini mengatur penitipan pemeliharaan satwa liar dilindungi tetapi bukan penyerahan pemilikan.
4.      Kegiatan penertiban satwa liar dilindungi memerlukan dana serta sarana prasarana yang besar, namun faktor ini belum tersedia mengingat keterbatasan anggaran pada pemerintah.
Hal-hal sebagaimana terurai di atas tetap berlangsung walaupun usia dari UU No. 5 Tahun 1990 sudah cukup lama dan tersosialisasi di kalangan masyarakat luas. Ironisnya, ketidaktahuan masih menjadi tameng bagi para pelanggar UU No. 5 Tahun 1990. Padahal atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya Hukum perlindungan dan pelestarian satwa liar.
Maraknya pelanggaran hukum tersebut terjadi karena akumulasi dari kondisi di negara kita yaitu :
1.      Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap produk hukum yang mengatur perlindungan terhadap satwa dan terhadap fungsi satwa dalam ekosistem.
2.      Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mentaati hukum yang berlaku.
3.      Lemahnya penegakan hukum.
4.      Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan tingginya pengangguran.

C. Evaluasi Undang-Undang No 5 tahun 1990
Dalam mengevaluasi kebijakan konservasi yang terkandung dalam Udang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan implementasinya, ada 5 kriteria yang akan diperhatikan (Barry C. Field) sebagai bahan penilaian yaitu (1) efficiency dan cost-effectiveness; (2) fairness ; (3) Incentives; (4) enforceability dan (5) moral.

1. Efficiency dan cost-effectiveness
Kriteria ini dimaksudkan dengan tingkat efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan konservasi jenis. Efiisiensi menyangkut tingkat marginal kerusakan yang dapat diperbaiki dengan berapa biaya yang dibutuhkan untuk melakukan upaya konservasi. Sedangkan kriteria cost-effectiveness adalah tingkat perbandingan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan besarnya manfaat upaya konservasi jenis.
Dalam upaya pengawetan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, maupun pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dalam UU No.5/tahun 1999 tersebut belum mempertimbangkan kedua kriteria ini, malah adanya kemungkinan terjadinya in-efficiency dan tidak efektifnya biaya konservasi. Tujuan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dalam UU tersebut, adalah agar tidak punah, untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Kaitan dengan implementasi akan sulit terjadi efisiensi, mengingat kemungkinan cost-marginal sulit mencapai tingkat marginal penurunan kepunahan jenis yang dikehendaki. Karena tidak didorong adanya peluang usaha yang menarik dalam konservasi jenis.
Dari indicator cost-effectiveness, juga kemungkinan tidak akan tercapai mengingat biaya yang dikeluarkan diduga akan jauh lebih besar dibanding dengan capaian dari upaya konservasi. Hal ini mengingat instansi yang menangani adalah Pemerintah Pusat, yang kemungkinan terjadi tidak efektifnya pembiayaan konservasi.

2. Fairness
Suatu kebijakan konservasi yang baik, apabila didalamnya memuat keadilan secara jelas atau mendorong terjadanya keadilan dalam kegiatan konservasi. Dari pasal demi pasal pada UU No.5/1999 tersebut kurang mengakomodasi kriteria keadilan ini, terutama akan sharing manfaat konservasi terutama bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah maupun stakeholder yang lain, sehingga timbul ketidakadialan pemanfaatan sumberdaya hayati yang terjadi secara mengglobal. Kekayaan sumberdaya hayati ternyata lebih merupakan surga bagi pencari “emas hijau” (istilah sumberdaya hayati yang potensial untuk dikomersialisasikan, misalnya tumbuhan obat), yang berasal dari perusahaan-perusahaan internasional negara maju. (Latin, 1999). Ketidak-adilan ini adalah hal yang utama terjadinya deplesi hutan yang besar.
3. Incentives
Dalam teori ekonomi dikenal dengan adanya incentive, baik itu bersifat positif maupun bersifat negatif mempengaruhi manusia dalam menjalankan peranannya baik itu sebagai pelaku kegiatan ekonomi maupun sebagai pengelola impact dan incident dari perbuatannya. Konsep incentives mencakup juga kegiatan non material reward disamping ekonomi cost dan benefit. Keputusan manusia sebagai homo economicus untuk tidak melakukan tindakan atau tidak melakukan kegiatan ekonomi ditentukan oleh system incentives yang dihadapinya, baik secara material maupun non material, keputusan manusia akan berubah jika incentives yang diterima mengalami perubahan. Jadi dari dasar itulah maka kebijakan ekonomi/pembangunan/pemerintah perlu mengandung unsure incentives yang secara rasional dengan system tersebut dapat mengarahkan perilaku manusia ketujuan yang diinginkan.
Kebijakan yang baik seharusnya dibangun dengan menggunakan dan memperhatikan system incentives. Dari analisis di atas, tidak menunjukkan adanya pasal dalam UU No.5/1999 yang secara eksplisit membangun system incentives ini sehingga menimbulkan dampak: a) Inefisiensi pengggunaan sumberdaya alam, terutama dalam pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman species; b) Inkonsistensi antara berbagai kebijakan, inkonsistensi antar tujuan kebijakan yang tidak mengarah kepada sasaran yang sebenarnya; c) Tidak terakomodasinya kepentingan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam paradigma pembangunan; serta d) kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya yang berlangsung. Pemerintah memandang sumberdaya alam sebagai sebagai sumberdaya yang berharga untuk dilikuidasi dalam rangka perolehan devisa, percepatan, percepatan pertumbuhan ekonomi serta diversivikasi basis perekonomian (Deuvergne dalam Suderlin dan Resosudarmo, 1997). Inilah yang menyebabkan erosi keanekaragaman hayati meningkat seeiring dengan melajunya pertumbuhan.
4. Enforceability
Kebijakan konservasi jenis tidak akan berjalan apabila tidak ada penegakan pelaksanaannya. Pada Undang-Undang No. 5/1990 pada pasal 40 ayat (2) dan ayat (3) ancaman pidana bagi yang melanggar paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Dengan belum adanya kasus yang dikenakan dengan ancaman tersebut, membuktikan bahwa kebijakan yang ada tidak enforceability. Demikian juga ancaman tersebut tidak membuat jera atau takut melanggar ketentuan kebijakan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kegiatan illegal logging di kawasan konservasi. Kondisi ini juga lebih didorong tidak jelasnya kepastian hukum.
5. Moralitas
Kebijakan yang dibangun harus benar-benar membawa pesan moral yang nantinya akan berdampak kepada perubahan perilaku manusia. Dari analisis terhadap UU, PP, dan keputusan-keputusan lain tidak terlihat ada pasal yang menerangkan mengenai pesan moral yang terkandung didalamnya sehingga dengan tidak terkandungnya hal tersbut sulit sekali untuk mencapai tujuan dan sasaran terutama dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumbedaya alam hayati. Dalam undang-undang tersebut juga tidak memberikan peluang untuk munculnya sanksi social bagi pelaku, malah sebaliknya orang bangga dan dapat meningkatkan status social-nya jika memelihara hewan yang dilindungi.









III. PENUTUP
A. Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.      Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa mempunyai kedudukan penting bagi kehidupan manusia yang perlu dipertahankan keseimbangan dan kelestariannya, diperlukan adanya langkah-langkah konservasi, dan peraturan perundang-undangan yang lama dipandang sudah tidak memadai dan masih merupakan produk kolonial.
2.      Secara umum implementasi terhadap Undang-Undang No 5 tahun 1990 belum sepenuhnya dapat berjalan sesuai harapan dan aturan yang telah ditentukan.
3.      Dalam mengevaluasi kebijakan konservasi yang terkandung dalam Udang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan implementasinya, ada 5 kriteria yang akan diperhatikan (Barry C. Field) sebagai bahan penilaian yaitu (1) efficiency dan cost-effectiveness; (2) fairness ; (3) Incentives; (4) enforceability dan (5) moral.





B. Saran
Konservasi hutan bertujuan untuk memastikan fungsi utama perlindungan kawasan hutan terjamin. Dalam penerapan hukum konservasi hutan, kondisi utama yang dikehendaki bersama adalah berlangsungnya keutuhan dan fungsi hutan sebagai penunjang ekologi dalam pembangunan nasional. Karena itu, hutan beserta fungsi dan peranannya harus dikelola secara rasional, terencana dan terpadu antara lain melalui sistem kebijaksanaan pengelolaan hutan secara lestari.













DAFTAR PUSTAKA
Dephut,1990. Undang-undang No. 5 tahun 1999, Tentang Konservasi Sumber daya hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Indonesia.

Dephut, 1999. Undang-undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Indonesia.

Dephutbun, 2000. Peraturan Perundang-undangan Bidang Konservasi sumberdaya Alam. Ditjen PJKA Jakarta. Indonesia.


Muhtaman, R Dwi dkk, 1999. Perbaikan Sumberdaya Hayati, Latin.

Sembiring N Suhaedi, Dkk, 1990. Tentang kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolan Kawasan Konservasi di Indonesia menuju Pengembangan Desentralisasi dan Pengkajian Peran serta Masyarakat . ICEL. Jakarta.

Sastrpraja, Dkk, 1990. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Jakrta Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar